Demokrasi dan Generasi Hedon yang Mewangi

Oleh: Agus Salim

( Ketua PMII Maros 2019-2020 &
Ketua Panwaslu Kecamatan Maros Baru)

Dimulai sejak menginjak bangku perkuliahan, para mahasiswa sudah diajak untuk mendiskusikan persoalan bangsa dan negara. Tak alpa pula, pemuda sampai dengan pelosok desa, turut mewarnai forum-forum yang seperti antusias ingin melihat negeri ini berkesejahteraan. Entah dari segi politik, hukum, sosial, budaya, pendidikan, agama, sampai dengan kesenian, hampir semua sudah menjadi bahan diskusi dari kawula muda sampai dengan senior yang umurnya sudah setengah abad lebih.

Dan tentu, dari semua diskusi-diskusi tersebut, tak lengkap jika hanya berakhir sebatas bicara saja. Dari ujung timur sampai ufuk barat, hampir semua kelompok memperlihatkan panggung eksotisnya . Dimulai dari panggung orasi sampai dengan pentas seni, semua memperkenalkan eksistensi diri, dan mengabadikannya dalam rekaman dokumentasi, seperti membuat laporan perjalanan dinas.

Demokrasi kita sebenarnya sudah berdiri megah ditengah hasrat-hasrat eksis tersebut. Terlepas dari teori ikhlas dan riya, kita patut bersyukur karena kemerdekaan sudah mulai terisi dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa keramaian itu. Meski kadangkala, kegiatan yang dilakukan tanpa subtansi sama sekali, sebatas euforia dan membunyikan tepuk tangan meriah.

Demokrasi kita sebenarnya sudah berdiri megah meskipun tak kokoh. Megah karena terlihat dari kejauhan, semua orang sudah bisa berbicara sesuka hati di semua media yang dia punya. Namun tak kokoh, karena dibalik kebebasan itu, masih ada bayang-bayang represif dan ketidakadilan sikap dari para tuan politik.

Bersama dengan itu, tuan dan puan yang memegang rincik kuasa atas segala intrik, turut mengekspansi ideologi kuasa mereka. Dimulai dari setiap penjuru warkop, satu persatu pemuda yang awalnya kritis, mulai diajak bermain kelereng di atas meja perkopian. Pemuda yang awalnya idealis, diajak main petak umpet dalam ruangan yang dipenuhi AC.

Entah dengan sihir apa, budaya warkop seakan sudah berubah tak sebagaimana sedia kala. Yang awalnya menjadi tempat bertukar pikiran para aktifis, kini menjadi tempat transaksi kepentingan. Sedikit-demi sedikit kegiatan di markas pemuda dan mahasiswa mulai ditinggalkan. Defenisi kajian yang awalnya adalah belajar , kini sudah bergeser makna menjadi: foto bersama untuk menunjukkan kita masih ada.

Rupa-rupanya darah panas jiwa para pemuda mulai terlena dengan traktiran para tuan. Pikir mereka, sejak mengenal tuan, mereka tak sulit lagi mengundang makan malam pacar mereka. Baik itu sekedar bercengkrama di warung makan bahkan sampai nongki di cafe resto elit mereka akhirnya mampu memadu kasih. Sejak mengenal tuan, mereka tak sulit lagi mengajak teman berhealing ria sampai keluar daerah dan kota. Tuan ternyata sungguh dermawan, tak pernah membiarkan mereka kelaparan dan berpenampilan acak-acakan. Penampilan mereka saat ini sangat jauh berbeda ketika masih sibuk di jalan menyuarakan suara yang katanya suara Tuhan. Kini mereka lebih kinclong dan Mewangi.

Budaya Hedonisme sudah menjalar dan mengakar kuat di tengah eksistensi organisasi yang membludak. Hampir tiap tahun kita mendengar ada perkumpulan baru yang mengajukan proposal ke pemerintah. Markas diperbesar dan atribut organisasi diproduksi massal, biar lebih elegan ketika berfoto ria. Sementara itu, suara kritikan semakin parau terdengar, berbunyi tapi berirama lain daripada hati nurani. Kadangkala merdu namun tak ada penghayatan.

Di tahun ini, yang tahun depan diadakan pesta demokrasi yang besar, demokrasi menjadi perbincangan utama hampir di semua forum. Tak sedikit kelompok yang ingin turut andil untuk menjadi partisipan mengawal pesta demokrasi tersebut. Patut kita syukuri, masih ada yang sudi menengok Demokrasi agar terlaksana secara berkeadilan. Ditengah hasrat dunia entertain , dimana semua orang ingin menjadi artis di cyrcle mereka masing-masing, masih ada beberapa kelompok yang ingin turut menjadi sukarelawan dalam menegakkan Demokrasi yang bersih.

Namun yang menjadi pertanyaan besar, apakah mereka mampu menjaga diri dari panggilan hedonisme yang sudah membudaya ini? Menjalankan amanah besar yang tak digaji sama sekali, ditengah intrik yang selalu menjanjikan jabatan tinggi. Diantara rayuan para tuan yang menjanjikan hidup yang lebih sejahtera. Mampukah keimanan itu tak tergoyahkan?

Budaya hedonisme adalah alamat matinya kepedulian. Awal mula sebuah pikiran yang ogah tahu akan kesengsaraan sekitar. Bilamana sudah kronis, maka ini akan menjadi candu yang melahirkan kejahatan baru. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme lahir dari keinginan hidup mewah yang tak terpuaskan. Dan kenyataanya, pemuda dan pemudi yang budiman saat ini, sedang sindrom memperindah rak-rak pakaian dan garasi kendaraan mereka. Tak ada lagi rak buku apalagi ruang kajian yang serius. Dan semua kemewahan itu hanya bisa didapatkan jika berbakti pada tuan dan kanda mereka.

Demokrasi kita dalam tekanan, megah namun tak kokoh. ia menjadi objek pembicaaraan namun luput dari pemeliharaan. Demokrasi kita menjadi buah bibir namun dikunyah seperti buah pinang. Ia hancur diantara hedonisme pemuda dan mahasiswa. Diantara gelas-gelas kopi, di bawah meja transaksi, di dalam ruangan ber-AC.

Mampukah kita menitip Demokrasi kepada tangan para pemuda pemudi yang rapi dan semerbak parfum ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: