Isabella dan Kisah Kelabu dari  Bumi Marapu (Bagian Kedua): Mengikat Perawan Atas Nama Belis

Inilah kisah tentang Isabella[1]. Seorang dara dari negeri Pattamalodo[2]. Tubuhnya sirna demi melawan kuasa patriarki. Tetapi jiwanya hidup menerangi hati para perawan dari Negeri Matahari Terbenam. Cerita ini disadur ulang dari kisah nyata seorang pater yang pengasih[3].  Isabella juga ditulis dalam coretan Satiti dan Mariana, dua perempuan hebat dari Sumba. Cerita saduran ini telah ditambah dan didramatisasi di sana-sini. Banyak nama dan tempat juga bukan yang sebenarnya.

By : Ijhal Thamaona

Sejak peristiwa itu, hidup Isabella dikurung murung. Semangat hidup terhempas. Butuh waktu untuk melupakan peristiwa kelabu itu. Tetapi Isabella menyadari tidak ada gunanya terkurung dalam trauma. Peristiwa kelabu itu harus dilupakan. Semangat harus dipantik kembali. Tetapi tidak mungkin jika tetap berdiam di negerinya semula. Semua bayang-bayang kelam itu akan terus mengepungnya.  Isabella memutuskan meninggalkan sekolah. Ia bertekad untuk beberapa waktu berjalan jauh dari negerinya, meninggalkan Bumi Marapu, negeri Pattamalodo. Isabella ingin melongok dunia yang berbeda. Bali adalah tujuannya. Di negeri para dewa itu ia ingin menimba pengalaman. Melihat dunia berbeda sembari mengais rezeki.  

Sebenarnya gadis yang keluar dari kampung dan mengembara ke negeri lain, bukanlah Isabella yang pertama. Tetapi tetap saja perawan yang meninggalkan kampungnya dianggap sebagai seorang yang berani. Isabella pun demikian. Ia adalah gadis yang berani bertualang. Dan lebih dari itu ia berani menerima takdir, meskipun yang menghantamnya adalah kenyataan pahit.

Setelah berhitung waktu di negeri Dewata, Isabella tumbuh semakin memikat. Kini ia pun pandai berdandan. Busananya lebih trendi. Rambutnya dicat warna-warni. Ia mulai melompati kelaziman seorang perempuan Sumba yang mempertahankan rambut hitam menjulai. Dari perawan yang cantiknya alami menjadi gadis yang sudah pandai berdandan. Sudah barang tentu mata para pemuda dan laki-laki semakin tertuju kepadanya.  Dalam tradisi masyarakat Sumba, seorang dara yang memikat akan didatangi kumbang dengan belis yang tinggi. Berpuluh kerbau disiapkan. Kuda-kuda trengginas tak berhitung jari disediakan.  Tak terhitung ternak lainnya, seperti babi misalnya.

Rupanya kabar tentang Isabella yang makin menawan itu tidak hanya memikat para pemuda. Seorang lelaki tua pun jatuh kasmaran. Lelaki yang sudah punya istri, tetapi memiliki harta yang banyak. Kudanya tak berhitung, lembu dia miliki, kerbau berpuluh-puluh ekor di kandangnya. Ternak babinya jangan di tanya lagi. Jika ingin bersain belis untuk merebut Isabella, maka lelaki tua ini sulit ditandingi.

Di negeri Pattamalodo atau Bumi Merapu, belis adalah sesuatu yang teramat penting. Ia adalah syarat untuk mempersunting seorang wanita.   Membayar belis  bukan perkara mudah. Bisa berpuluh-puluh kerbau dan kuda yang harus diserahkan. Tahap pertama, ketika pihak laki-laki datang mengantar sirih pinang atau disebut juga dengan “lamugeren panengin ” (prosesi ketuk pintu), mereka telah menyerahkan seekor kerbau dan seekor kuda. Belum lagi masuk pada tahap selanjutnya, yakni latahmama atau “mengikat perempuan sebagai pasangan,” biasanya pihak laki-laki memberikan satu ekor induk kerbau, dua ekor anak kerbau, dan dua ekor kuda. Setelah latahmama masih ada lagi tahap yang lain yakni lawoyo, tahap di mana laki-laki sudah bisa memboyong istrinya meninggalkan rumah orang tuanya. Pada tahap ini agar bisa memboyong istrinya keluar dari rumah orang tuanya, sang pria harus menyerahkan paling tidak lima belas ekor hewan ternak. Bagi orang kaya bisa sampai 20 hewan ternak bahkan lebih. Karena belis yang berat itu, sering kali seorang laki-laki harus berutang belis pada keluarga perempuan. Mereka pada akhirnya tidak bisa membawa istrinya keluar dari rumah orang tuanya. Suami yang akhirnya ikut di rumah orang tua dan klan istri[4].

Belis adalah juga simbol kehormatan dan kelas sosial. Karena itu seorang perempuan yang diberi belis yang banyak adalah satu kebanggaan. Itulah yang terjadi pada Isabella. Ketika ia masih di Bali, keluarganya telah menerima belis dari lelaki tua tersebut. Nilai belis yang diberikan terlalu tinggi dan mewah untuk dapat ditolak. Keluarga Isabella juga telah banyak berutang budi maupun utang lainnya pada pria tua itu. Pinangan telah diterima, belis sudah di tangan keluarga, tanpa satu orang pun yang pernah bertanya apakah Isabella setuju dipersunting lelaki yang sepantasnya menjadi kakeknya. Isabella telah diikat dalam Wenda Mawine. Perkawinan bukan atas dasar cinta, khususnya dari pihak perempuan. Bahkan Isabella sendiri tidak tahu menahu, dirinya telah dibuhul dalam sebuah perkawinan. 

Isabella pun dipanggil pulang. Karena ia merasa sudah bisa berdamai dengan kisah muram masa lalu, maka panggilan pulang pun dituruti. Tetapi ia tidak pernah tahu mengapa ia dipanggil pulang. Begitu kakinya menjejak Tanah Pattamalodo, semua mulai terang benderang baginya. Ia dipanggil pulang untuk menikah dengan seorang lelaki tua. Semua sudah diputuskan tanpa pernah mendengar pertimbangan Isabella. Mendengar semua itu, langit di atas kepalanya terasa runtuh menimpanya. Ia menolak keras. Tetapi penolakannya ditampik tegas. Tak ada yang membelanya. Ayahnya, lelaki paling dia banggakan, cinta pertama seorang anak perempuan, juga bungkam. Hanya ibunya satu-satunya yang memihaknya. Tapi ia tak bisa bersuara. Hanya matanya yang bisa berbicara.

Karena tak bisa menolak, Isabella memutuskan lari dari rumahnya.

“Mama, izinkan Bella meninggalkan rumah ini”, katanya di depan ibunya. Tak ada suara. Tetapi tatapan mata ibunya meyakinkan dia untuk meninggalkan rumahnya.

Isabella lari ke rumah salah seorang kakaknya yang dia anggap bisa mengerti keputusannya. Tetapi rupanya pria tua itu merasa  telah punya hak sepenuhnya atas diri Isabella. Ia telah membaya belis. Apa lagi. Maka lelaki tua itu bersama kakak sulung Isabella menyusul Isabella. Mereka ingin memaksa Isabella ikut dengan pria tersebut.

“Kamu telah menjadi istriku, saya berhak mengambil engkau dan membawa pulang ke rumahku.”  Kata laki-laki tua itu begitu bertemu Isabella.

“Benar Bella”, kakak sulungnya turut bicara,  “engkau tidak bisa mempermalukan keluarga, jika engkau tidak ikut dia, engkau akan mencoreng arang di muka keluarga kita.”

Isabella diam. Tidak ada kata lagi yang bisa dia ucapkan. Ia pun beranjak masuk ke kamar. Baik lelaki tua maupun kakak sulung Isabella mengira gadis itu telah menyerah. Mereka menunggu. Tetapi setelah sekian lama Isabella tidak keluar dari kamar, keduanya mulai curiga. Bergegas keduanya menyerbu ke kamar Isabella. Yang terpampang di kamar itu mengejutkan mereka. Isabella terbaring meringkuk dengan mulut berbuih. Di sebelahnya terongok botol racun. Jelas sudah gadis ini menenggak zat pembasmi rumput di botol itu. Itulah cara Isabella menyatakan penolakannya. Perlawanan orang-orang lemah, sering kali sangat berani. Nyawa mereka pertaruhkan. 

Untunglah nyawa Isabella dapat diselamatkan. Tetapi lelaki tua itu tak pernah menyerah. Setelah Isabella membaik, ia kembali datang untuk mengambilnya.  Saat lelaki itu datang, Isabella menjadi kalut. Tak ada daya untuk menolak. Ia kembali menenggak racun,  lalu lari ke pantai Oro yang tak jauh dari tempatnya. Ia ingin bersembunyi sekaligus juga mati di sana. Lia (bukan nama sebenarnya), sahabat setianya, mengikutinya. Ia ingin menolong Isabella yang diketahui telah meminum racun.  Di sela-sela karang keduanya bersembunyi. Isabella terlihat kepayahan, tetapi sekali waktu ia nekat ingin mencebur ke laut. Lia mencekalnya erat-erat.

“Tak ada harapan Lia, hanya kematian saat ini yang bisa menolongku.” Katanya sendu. Air matanya mengucur deras.  Lara berdenting nyaring di hatinya. Menyaksikan nestapa yang ditanggung sahabat karibnya, Lia tidak tahan. Ia ikut menangis. Tangannya mendekap erat sahabatnya. Katanya,  “tidak Bella, pasti ada yang akan menolongmu, Tuhan melihatmu, Ia mendengar rintihan perempuan lemah seperti kita, ia pasti menolongmu.”

Pertolongan itu pun ternyata datang. Setelah warga menemukan kedua gadis itu di pantai Oro, Isabella dipertemukan dengan seorang Pater dan teman-temannya yang penuh kasih dari satu Lembaga Kemanusiaan Sahabat DDS. Mendengar cerita Isabella, Pater dan para sahabatnya bertekad memberi perlindungan pada Isabella.   Menyaksikan kesediaan Pater dan para aktivis Sahabat DDS itu, Isabella gembira sekali. Ia mulai menyadari di dunia ini pasti ada orang-orang baik. Hidupnya yang didera nelangsa bertubi-tubi akibat ulah manusia, membuat dia mulai ragu, apakah masih ada cinta di hati manusia? Tetapi hari itu ia menemukan kembali kasih dan cinta itu. Di mata Pater ia temukan kasih itu. Dalam senyuman para Sahabat DDS ia merasakan ketulusan cinta.

Keluarga Isabella pun diberi kabar, bahwa gadis itu dalam perlindungan Lembaga Kemanusiaan.  Mendengar berita itu, keluarga Isabella dan Pria Tua yang telah membayar belis, tidak bisa menerima.  Dalam keluarga Isabella terjadi diskusi yang alot. Kakak sulung Isabella, berdiri tegang. Mukanya merah. Pelipisnya bergerak-gerak.

“Ini sudah mencoreng harga diri keluarga kita, bahkan telah menghina adat istiadat dari leluhur.” Katanya dengan suara keras.

“Kita akan menjemputnya besok, Isabella harus kita bawa pulang”. Menimpali pamannya yang lain.  

“Saya tidak mengerti apa yang diinginkan oleh Bella ini, mengapa ia tidak mau mengikuti perintah orang tuanya, tidak mau tunduk pada adat istiadat?” Yang bersuara kali ini adalah ayah Isabella. Suaranya pelan, ia seperti mengeluh pada dirinya sendiri.

Ketika sudah bulat suara ingin menjemput Isabella dan membawa pulang kembali ke kampung untuk diserahkan pada suaminya, tiba-tiba terdengar suara perempuan. Sejak tadi perempuan, yang tidak lain adalah ibu dari Isabella ini, hanya terhenyak, diam membisu.

“Mengapa kita tidak pernah mendengar suara Bella, tak pernah mau tahu apa yang diinginkannya, harapannya, impiannya? Mengapa kita bisa memutuskan kehidupan seseorang tanpa pernah bertanya padanya?”

Suara ibu Isabella pelan saja. Tetapi kata-katanya yang berbeda dari ucapan orang-orang yang ada di situ, membuat semua tersentak. Mulut sama bungkam, pendengaran sama dipentang dan mata sama tertuju ke Mama Isabella. Tetapi tidak ada lanjutan dari kalimat itu.

Setelah beberapa jenak kesunyian menggantung di tempat itu. Kakak Isabella yang sulung berkata, “ini sudah adat mama, kalau belis sudah diterima, perempuan tidak bisa lagi menolak.”

Mama Isabella mengangkat mukanya, matanya menatap mata anak sulungnya. Mata mama Isabella yang menatap mata anaknya itu, tak menyuratkan kemarahan, malah yang membayang adalah kesedihan. Di sudutnya terlihat bulir bening. Si anak yang dipandang, tak sanggup menantang mata mamanya. Tatapan si anak luruh ke lantai.

“Saya tidak tahu siapa yang menciptakan adat semacam ini, betulkah leluhur kita? Benarkah leluhur Bumi Marapu mengajarkan aturan yang rasanya tidak adil pada perempuan? Saya tidak yakin. Setahu saya ajaran Marapu adalah ajaran yang luhur.” Tandas Mama Isabella.

“Tapi begitulah aturan belis Mama Bella.”  Menimpali salah satu om Isabella.

Mama Bella melangkah dua tindak. Kini posisinya berada di tengah-tengah. Tubuhnya berdiri tegar. Kepalanya ditegakkan. Keberanian tiba-tiba muncul pada sosok perempuan ini. Lalu ia pun berkata,

“Saya yakin leluhur kita menciptakan aturan belis ini untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan. Bahwa seorang lelaki tidak boleh semaunya saja mengambil seseorang menjadi istrinya. Seorang laki-laki harus siap,dan mampu menafkahi. Itulah mengapa mereka harus memberikan belis. Belis simbol tanggung jawab seorang laki-laki. Adat istiadat belis bukanlah tradisi jual beli anak perempuan.”

Sesaat sunyi menggantang udara. Senyap tak ada yang bersuara. Lalu terdengarlah suara Bapak Isabella.

“Saya mengerti yang kau katakan mama, tetapi janji terlanjur diikat, ucapan manusia dari Marapu harus dipegang. Jika kerbau dipegang talinya-manusia dipegang janjinya. Kita telah menyetujui perkawinan ini, belis telah di tangan.  Besok kita tetap harus menjemput Bella, dan saya harap mama ikut serta.”

“Baiklah, jika demikian keputusannya, dengarlah kata Perempuan Marapu ini, saya tidak akan ikut dan menyetujui perkawinan tanpa dasar cinta, apalagi jika ingin memaksakan kehendak pada anakku, Bella. Silahkan kalian berangkat sendiri. Saya tetap di sini.” Tegas suara Mama Bella. Semua telinga saat itu terang benderang mendengarnya, tapi tidak ada yang berkomentar.

Akhirnya ketika keesokan harinya rombongan tetap berangkat untuk menjemput Isabella di kota, Mama Bella tidak ikut. Beberapa orang mencoba merayunya. Tetapi ia memilih meringkuk dalam bilik. Kepada orang-orang yang datang membujuknya ia mengatakan dirinya sedang tidak enak badan. Dari celah-celah biliknya, perempuan ini melihat satu-satu keluarganya naik ke kendaraan, lalu mobil itu pun bergerak pelan. Bulir-bulir bening menggayut di sudut mata perempuan ini, mengumpul, lalu pecah, dan satu-satu bergulir di pipinya yang tirus. Bibirnya bergetar mengucap, “Para leluhur Marapu engkau pasti melihat semua ini, jangan biarkan cucumu dalam derita, berikan petunjukmu. Tuhan! Saya serahkan semuanya kepada-MU.” 

(Bersambung)


[1] Nama samaran

[2] Pattamalodo atau negeri Matahari Terbenam adalah nama kiasan untuk Sumba Barat Daya

[3] Pater atau bapak biasanya disematkan pada seorang Pastor yang membimbing dan mengayomi umat

[4]Penjelasan tentang belis ini merujuk pada catatan lapangan Rismawidiawati, sejawat yang sama-sama meriset di Bumi Marapu Sumba Barat Daya. Tetapi tradisi belis dalam catatan Risma berasal dari tradisi Kodi, Sumba Barat Daya. Tradisi belis ini bisa saja berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya di Sumba. Istilah bisa juga berbeda. Di tempat lain, misalnya di Wewuwa, istilahnya berbeda,  tahap pertama disebut tunda binna (ketuk pintu), tahap kedua kette katonga (masuk minta) dan tahap ketiga dikki (perempuan diboyong pindah ke suku suaminya)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: